Jumat, Juli 24, 2009

SEMANGAT KARDINAH UNTUK BATIK TEGAL



Oleh: Yono Daryono


Bagi masyarakat Tegal dan sekitarnya, mendengar nama Kardinah, tentu ingat sebuah rumah sakit milik Pemerintah kota Tegal yang dibangun oleh RA Kardinah, istri Bupati Tegal, R.M. Adipati Ario Reksonegoro yang menjabat pada tahun 1908 -1936. Sedikit sekali orang yang mengetahui Kardinah juga membangun Sekolah Kepandaian Putri, untuk gadis pribumi “Wismo Pranowo”. Di dalam sekolah tersebut, Kardinah selain memberi pelajaran setara dengan Sekolah Pribumi Kelas Dua pada masa pemerintah Belanda, juga memberi pelajaran praktek membatik. Ada fasilitas untuk membatik seperti gudang dan los untuk penyelesaian hasil-hasil pembatikan dengan soga (warna merah untuk batik) dan wedel ( warna hitam untuk batik).
Kota-kota yang kita ketahui sebagai penghasil batik di Jawa telah banyak diketahui masyarakat secara luas, baik corak maupun motifnya. Sehingga kita sering luput mengamati kebudayaan daerah-daerah lain yang juga memiliki kreatifitas dalam seni membatik. Tegal merupakan salah satu contoh kota penghasil batik yang cukup menarik untuk dikaji. Bukan saja motif dan coraknya yang berbeda dengan batik kota-kota lain, namun prilaku pembatik juga cukup menarik. Mereka membuat batik hanya untuk kebutuhan keluarga, khususnya bila akan mempunyai hajat seperti perkawinan dan sunatan. Batik merupakan sumbangan yang berharga bagi acara-acara penting dalam keluarga. Mereka secara tidak sadar memposisikan batik sebagai hasil karya seni yang nilainya tidak terukur. Kondisi ini dapat disaksikan di daerah-daerah perajin batik seperti Kalinyamat Wetan dan kelurahan Bandung Kecamatan Tegal Selatan.
Bila kita mencermati batik di Indonesia secara umum dari sudut daerah pembatikan ada dua kelompok besar, yakni batik vorstenlanden dan batik pesisir. Batik vorstenlanden adalah batik dari daerah Solo dan Yogyakarta. Sedangkan batik pesisir adalah semua batik yang pembuatanya dikerjakan di luar daerah Solo dan Yogyakarta.
Ditinjau pembagian asal batik dalam dua kelompok ini, terutama berdasarkan sifat ragam hias dan warnanya. Batik Solo-Yogya ragam hiasnya bersifat simbolik berlatar kebudayaan Hindu-Jawa, warnanya sogan, biru, hitam dan putih. Sedangkan batik pesisir memilki ciri –ciri ragam hiasnya naturalistik dan pengaruh berbagai kebudayaan asing. seperti Cina dan Belanda. Untuk warnanya tidak terikat, kita akan menjumpai batik pesisir warnanya beraneka.
Walupun perkembangan batik Tegal berawal dari apa yang dilakukan pengawal raja Mataram Amangkurat Pertama yang mengungsi ke Tegal. Ini yang barangkali mengapa motif batik Tegal mirip dengan batik Keraton yakni didominasi warna hijau dan kecoklatan. Namun perkembangan berikutnya, para pembatik di kota ini, memberi motif batik dari flora dan fauna. Para pembatik berekspresi tanpa beban makna dan kegunaan. Perubahan corak, motif dan dominasi warna batik Tegal tidak lepas dari pengaruh Kardinah.
Warna batik Tegal pertama kali sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal nila pabrik, kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Motif-motif batik Tegal, mempunyai kekhasan, berbeda dengan daerah lain, sesuai dengan kondisi lingkungan si pembuatnya. Motifnya lebih bersifat ekspresi pembatiknya dalam merespon lingkungan, atau alam sekitar, flora dan fauna. Di Tegal kita mengenal motif dapur ngebul, gribikan, cempaka putih, gruda, kawung, tapak kebo, semut runtung, sawatan, tumbar bolong, kawung, blarak sempal dan motif-motif lainnya.
Walaupun secara geografis Tegal lebih dekat dengan Cirebon atau Pekalongan, tetapi motif-motif batik Tegal lebih ada kemiripan dengan batik Lasem, daerah yang tidak jauh dari tempat kelahiran Kardinah (Jepara). Batik Lasem dikenal dengan warna merahnya yang khas, seperti warna merah darah, dan tidak bisa ditiru perajin batik kota lain. Motif batik Lasem yang mirip dengan batik Tegal yaitu motif “bunga batu pecah’. Baik motif, corak, warna maupun isen isennya hampir sama dengan batik Tegal motif “tumbar bolong”. Motif flora dan fauna Lasem mirip dengan batik Tegal, terutama pada isen-isennya.
Batik sangat dipengaruhi oleh pembuatanya, demikian pula Kardinah, dia lebih suka warna soga dan hitam, dan itulah yang kemudian dibawa ke Tegal, sehingga walupun batik Kardinah “diilhami” oleh batik Lasem, namun yang dikembangkan di Tegal berbeda dengan batik Lasem.
Pada tahun 1908 Kardinah pindah ke Tegal karena mengikuti suaminya, Reksonegoro sebagai Bupati Tegal. Sejak tahun itu pula Kardinah mengajari membatik bagi anak-anak wanita di lingkungan pendopo. Kebiasaan Kardinah membatik dilakukan sejak kecil. Bersama kakak-kakaknya, Kartini dan Roekmini., Kardinah sering membatik di serambi belakang kabupaten Jepara. Mereka bertiga yang dikenal sebagai Tiga Serangkai ini memiliki kegemaran memakai kain batik hasil buatan sendiri. Dalam buku hariannya tertanggal “ Depok, September 1900” Dr. N. Andrian, seorang Indolog menulis tentang pertemuannya dengan Kartini, Kardinah dan Roekmini di Batavia, antara lain, bahwa “mereka bertiga sama: berkebaya sutra putih berbunga-bunga jambu, berkonde dan berkalung emas tipis pada leher mereka, yang membuat mereka menjadi begitu cantik, dan ketiga-tiganya mengenakan sarung batik indah, buatan sendiri, bernawarna coklat memikat (Surat, 6 Nopember 1899, kepada Estella Zeehandelaar).
Kardinah demikian pula kakak-kakaknya Kartini dan Roekmini, sebenarnya secara praktis telah tinggalkan kebangsawanannya, dan menjadi pekerja biasa di dalam kabupaten: membatik, mengurus kebun, menjadi koki, merawat keluarga yang sakit, dan sebagainya pekerjaan-pekerjaan yang tidak dikerjakan oleh anggota-angota keluarga bangsawan tinggi. Kardinah dan saudari-saudarinya selalu mengenakan sarung batik buatan sendiri, bukan karena dengan demikian ia bisa pamer secara murah tentang kecakapannya membatik, tetapi dan terutama sekali untuk membanggakan keunggulan seni Rakyat Pribumi yang sejauh itu belum dikenal dan belum ditandingi oleh negeri manapun.
Kebanggaan itulah yang kemudian ditularkan kepada masyarakat Tegal lewat sekolah Wismo Pranowo. Sekolah yang mengajarkan gadis-gadis pribumi dalam bidang rumah tangga. Upaya Kardinah dalam memperkenalkan hasil karya batik anak-anak didiknya bukan saja untuk dipakai sendiri tetapi juga dipamerkan. Tiap tahun suaminya bersama dengan guru-guru Wismo Pranowo menyelenggarakan pasar malam di alun-alun Tegal. Bersama dengan Perkumpulan Kesenian Hindia cabang Tegal mengadakan pameran di Pekalongan dan Cirebon ( Surat-surat Adik R.A. Kartini, Frits G.P. Jaquet 2005: 273).
Batik Tegal sudah berabad lamanya dikenal di kota-kota besar di Indonesia. Pengenalan batik Tegal tidak lepas dari perjuangan Kardinah. Bersama kakaknya, Kartini dan Roekmini, Kardinah berupaya meningkatkan derajat dan peradaban rakyat Indonesia. Pikiran-pikiran dan kegiatan Tiga Serangkai ini mengilhami pergerakan nasional yang ditandai dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Sebelum ikrar Sumpah Pemuda 1928, mereka juga telah menggalang persatuan dalam “perkumpulan” Jong Java.



Yono Daryono, aktivis budaya, tinggal di Tegal
Dikutip dari Wacana Lokal Harian Suara Merdeka, edisi 22 Juli 2009

Jumat, Juni 26, 2009

Kamis, Juni 25, 2009

SEBUAH KOTA TANPA MASA LALU

Yono Daryono

Judul tulisan tersebut barangkali semua orang sepakat akan mengatakan, tidak mungkin sebuah kota tanpa masa lalu. Tetapi itulah kenyataannya, setidaknya muncul dalam pikiran saya..Tegal tanpa catatat tentang masa lalu, miskin artefak, dokumen, atau literature yang mengungkap sejarahnya.. Kita hanya mendapatkan buku Suputro yang pernah menjabat sebagai Walikota Tegal : Tegal Dari Masa Ke Masa. Walaupun di sana-sini buku tersebut masih perlu kajian lebih mendalam, namun kerapkali menjadi rujukan.
Sungguh ironis bila benar Tegal menjadi kota tanpa masa lalu, tentu akan berpengaruh terhadap perkembangan berikutnya. Peristiwa sejarah bukan hanya kejadian fisik, melainkan peristiwa bermakna yang terpantul sepanjang waktu, sehingga dapat terungkap segi-segi pertumbuhan, kejayaan, dan keruntuhannya (Poespowardojo, 1992: 1). Sejarah identik dengan peradaban manusia, dan pemahaman atas sejarah berarti juga pemahaman kebudayaan.
Kita tidak ingin menjadi Sangkuriang yang tidak tahu bahwa ia telah membunuh bapaknya. Bersikeras mengawini Dayang Sumbi ibunya sendiri hanya karena kecantikannya.
Hampir semua kota di Nusantara ini dibangun mengacu pada sejarah masa lalu, tidak sedikit pula diilhami oleh mitos-mitos. Selain kisah Sangkuriang dan Dayang Sumbi, di Jawa kita juga mengenal kisah Lara Jonggrang atau biasa disebut Durga Mahisasuramardini. Lara Jonggrang sebuah legenda atau cerita rakyat yang ingin menjelaskan adanya Candi Prambanan di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta. Cerita ini berdasarkan arca Dewi Durga yang ditemukan di desa Prambanan. Dari sini muncul lingkungan Prambanan yang cukup melegenda selain kota Yogyakarta itu sendiri.
Lalu dimana posisi Tegal diantara kisah-kisah yang melegenda. Kita hanya kenal epos Martoloyo-Martopuro yang lebih sering diungkapkan lewat pertarungan mereka. Kita lupa apa yang diperbuat oleh mereka, dan para pelaku sejarah lainya. Faktor manusia dalam perspektif sejarah sangatlah esensial, karena berdasarakan kesadarannya menusia meliki nilai historisitas, yakni selalu berkembang dalam rangka merealisasikan dirinya secara kongkrit (Dudung Abdurahman, 2007: 13).
Kapan Tegal memiliki catatan sejarah yang dapat menjadi pijakan sekaligus menerbitkan rasa banga warganya. Pertanyaan itu terus muncul dalam benak saya. Telah banyak sejarawan atau peneliti asing menulis tentang Tegal dari sudut pandang mereka,. Namun sedikit orang Indonesia menyinggung tentang Tegal dalam kajian sejarahnya. apalagi orang Tegal menulis sejarah Tegal. Atau memang Tegal kurang layak dicatat dalam sejarah. Barangkali para sejarawan itu bukan tidak ingin menulis sejarah Tegal, tetapi belum mendapatkan literature yang mendukung kalau Tegal layak ditulis dalam sejarah, apalagi sejarah kota Tegalnya.
Pada umumnya, kita dapat melihat bahwa perkembangan kota-kota modern banyak dibentuk berdasarkan warisan sejarah masa sebelumnya. Dalam kajian tentang masalah perkotaan, beberapa aspek penting yang memainkan peranan penting adalah keadaan demografi, teknologi, organisasi, dan lingkungan. Dengan demikian aspek-aspek itu penting untuk dipahami, karena adanya faktor yang saling kait mengkait
Dalam dinamika sejarahnya, banyak kota-kota itu terlahir sebagai akibat pusat-pusat politik tradisional seperti pusat-pusat istana kerajaan, pusat-pusat perkembangan perdagangan seperti di daerah pegunungan, demikian pula di pelabuhan atau wilayah pesisir pantai. Dalam perkembangan selanjutnya tampaknya terjadi pergeseran pusat-pusat perdagangan dari pegunungan ke pantai. Perpindahan itu seringkali terjadi karena dinamika politik, di pedalaman sebagai akibat perkembangan politik di tingkat internal maupun eksternal.
Begitu berpengaruhnya ekspansi Mataram ke Batavia terhadap Tegal. Demikian pula ”hijrahnya” Amangkurat I ke Tegal sampai meninggal dan dimakamkan di Tegalarum. Apakah kita tidak pernah membayangkan bagaimana Amangkurat II membangun istana di Tegal, Belanda membangun karesidenan di Tegal yang membawahi Tegal, Brebes dan Pemalang.
Catatan-catatan yang berserakan ini sungguh sangat disayangkan bila kita tidak dikumpulkan. Berbekal pemahamn itulah maka kami ”nekad” menulis buku ”Tegal Stad”: Evolusi sebuah kota.
Bila saja tidak ada orang yang peduli terhadap sejarah kotanya, maka semakin menegaskan, Tegal sebagai kota tanpa masa lalu. Lalu siapa yang peduli dengan Gedung Tawang Samudra (Gedung Rakyat) gedung tonil masa Belanda yang kini jadi sarang walet. Rumah RA Kardinah yang sudah jadi Mall. Serta gedung-gedung bersejarah lainnya yang dilibas dengan alasan ekonomi. Tegal menjadi hutan beton tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan dan mahluk lain yang berhak hidup.
Ada seorang teman setelah membaca buku Tegal Stad berkata:”Enak yah, urip jaman gemiyan”. Komentar ini berangkat dari tulisan Imam Tantowi dalam kata pengantarnya: Water leideng pohon kenari dan pohom asem yang berdaun blekok.

Sepanjang jalan dari alun-alun sampai Stasiun Kereta Api, sesudah jembatan Kali Gung berjajar pohon peneduh, pohon kenari yang tinggi-tinggi. Selain pohon kenari, tumbuh pohon-pohon asem jawa. Bila sore menjelang, pohon-pohon asem itu dipenuhi burung blekok.
Untuk bisa dikatakan kota moderen, tentu tidak harus melupakan wajah masa lalu. Kota dibangun atas nama peradaban, maka selayaknya kita mendukung bila Pemerintah Kota Tegal memiliki ketetapan yang mengikat tentang perlunya pelestarian dan cagar budaya bangunan-bangunan bersejarah, dalam bentuk Perda.

Tulisan ini disampaikan dalam acara lauching buku: Tegal Stad: Evolusi Sebuah Kota, 24 Desember 2008.

SKETSA KOTA


MEMBANGUN KOTA

Ketika melihat sketsa Kota, pikiran kita bermain-main dalam presisi mengenali anatomi kota dan lingkungannaya. Sebuah kota harus kuat dalam branding, sebagai sosok kota harus memiliki merek, tidak harus bermain dalam kata dan slogan, tapi lebih dibentuk oleh nilai dan karya.

Tujuan kota akan berhasil dicapai, apabila giat berbenah dalam membangun diri dan membangun merek pribadinya. Merek sebuah kota adalah apa yang dijanjikan, apa yang diperjuangkan, dan yang lebih penting lagi bagaimana ia melukiskan diri kepada pihak luar.

Orang tidak dapat melihat apa yang terdapat dalam diri sebuah kota, tanpa pemahaman terhadap keyakinan dan kemampuan kota tersebut. Potret kota hanya dapat dilihat dari apa yang dilakukannya, berupa persepsi yang mereka bentuk dan bangun dengan mengamati tingkah laku kota. Oleh karenanya, karya dan kerja membangun kota itulah cara membangun merek kota kita. Kita memberikan goresan-goresan kecil pada sketsa kota dalam kanvas besar bernama “Pembangunan Kota”.